Bak punguk merindukan bulan, seperti itulah kondisi
telematika di Indonesia. Pasalnya, hingga kini belum ada satu ketentuan
perundangan yang mendukung bisnis dan investasi di bidang telematika ini.
Akhirnya, tidak jarang pelaku usaha berjalan tanpa regulasi yang jelas.
Dalam pelantikan Deputi Menteri Negara Komunikasi dan
Informasi (Menneg Kominfo) beberapa waktu lalu di Jakarta, Syamsul Muarif
mengatakan bahwa sebagai sebuah bidang yang relatif baru, dunia telematika
Indonesia saat ini seperti belantara yang belum ada aturannya.
Berkaitan dengan hal itu, Syamsul menyatakan bahwa
pihaknya berupaya agar bagaimana hutan belantara ini menjadi hutan yang
produktif. "Untuk itu, sektor telematika ini perlu dibangun dengan pola kemitraan,"
cetus Syamsul.
Syamsul mengakui bahwa jajaranya saat ini masih
memiliki banyak keterbatasan dan kelemahan. Karena itu, perlu dibangun suatu
stategi yang jitu, terutama dalam membangun kerjasama dengan dunia bisnis dan
masyarakat.
"Tidak ada pilihan lain selain membangun kemitraan
dengan berbagai pihak terkait," ujar syamsul. Menurutnya, perlu dibangun
kerjasama dengan seluruh lembaga terkait baik dalam dan luar negeri. Terutama,
dalam memanfaatkan dan mengembangkan telematika untuk e-government.
Dana yang dibutuhkan untuk membangun e-government tidak sedikit. "Tidak
mungkin pemerintah menyediakan dana yang demikian besarnya untuk membangun
fasilitas tersebut," tambah Syamsul.
Membuka iklim investasi
Ashwin Sasongko, Deputi Bidang Telematika Kementerian
Komunikasi di hari pertama kerjanya (26/11) mengemukakan keinginannya untuk
membuat iklim investasi di sektor telematika ini menjadi sehat dan berkembang.
Pola investasi dimaksud dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Misalkan saja investasi langsung atau membuat satu kerjasama
dengan luar negeri. Ambil contoh, dalam pembuatan stasiun televisi.
Setelah TVRI, baru beberapa tahun kemudian bermunculan
stasiun televisi. Setelah itu dibuka seluas-luasnya bagi para investor untuk
menanamkan modalnya. "Mestinya di sektor telekomunikasi atau telematika
juga dimungkinkan," kata Ashwin kepada hukumonline.
Kemudian masalah pelaksanaan e-government juga
menjadi salah satu target dari kementerian Kominfo. "Kemarin, Pak Syamsul
berharap agar e-government diselenggarakan untuk mempercepat
proses-proses pemerintahan," tegas Ashwin.
Ashwin berpendapat bahwa tidak ada salahnya kita
meniru Singapura. Caranya, dengan membuat suatu target untuk membuat sistem
pemerintahan menjadi otomatis. Misalkan saja untuk suatu proses-proses
pemerintahan menjadi otomatis kurang dari dua puluh empat jam untuk pembuatan
KTP, paspor, proses perizinan, dan lain-lain.
Lebih susah merevisi
Telematika
sebagai satu teknologi yang relatif baru terkadang tidak selalu mudah untuk
diimplementasikan dalam konteks hukum Indonesia. Dengan adanya teknologi, ini
memungkinkan bisnis baru lainnya bermunculan.
Mengutip pendapat rekannya dari Malaysia dalam
penyusunan cyberlaw, Ashwin berpendapat bahwa merevisi suatu peraturan
lebih sulit jika dibandingkan dengan membuat satu peraturan baru.
Aswhin menambahkan bahwa masalah regulasi atau
peraturan merupakan hal ketiga yang menjadi prioritas dalam Kementerian
Kominfo. Sampai dengan hari ini, beberapa institusi sedang melakukan revisi
peraturan perundangan.
Menyinggung masalah tersebut, Ashwin berpendapat bahwa
Kementerian Kominfo dapat berperan dalam membuat pertaturan-peraturan turunan
yang berkaitan dengan teknologi informasi. Misalkan saja mengenai penyelesaian
sengketa suatu transaksi elektronik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar